Apa itu Toxic Parent? Apa dampak negatifnya bagi perkembangan anak? Simak penjelasan selengkapnya!

Apa itu toxic parent?

Apa itu toxic parent sudah familiar dikalangan zaman now. Penggunaan “toxic” sering ditemukan di dunia nyata maupun dunia maya. Bahkan di dunia game pun “toxic” sering digunakan. Istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada orang yang memberi pengaruh negatif bagi sekitarnya. Apa itu toxic? Apakah semua orang bisa menjadi toxic?

Toxic berasal dari bahasa inggris yang berarti racun. Bicara tentang racun tentulah sesuatu yang tidak baik. Racun memberi efek negatif dan merusak bagi seseorang. Begitulah kata “toxic” digunakan. Semua orang bisa saja menjadi toxic secara sadar maupun tidak. Begitupun para orang tua atau sering disebut “toxic parents”.

Menjadi orang tua toxic sangat berbahaya untuk keharmonisan keluarga. Pada dasarnya, pelaku atau korban toxic sama-sama tidak bahagia. Hal apa saja yang dilakukan orang tua sehingga disebut “toxic parents”?

Ciri-Ciri “Toxic Parents”

Toxic parents memberikan pengaruh buruk pada anak. Baik secara psikologis maupun fisik. Orang tua yang toxic cenderung selalu menuntut pada anak. Tidak berempati dan menganggap remeh anak. Orang tua seperti ini sering menganggap itu sebuah didikan. Didikan yang dianggap tegas namun dengan cara yang kurang tepat. Berikut ciri-ciri toxic parents yang perlu diketahui:

1. Selalu menyalahkan anak

Orang tua yang toxic selalu saja menganggap anak bersalah. Apapun yang dilakukan anak adalah salah tanpa mau tau penyebabnya. Anak diberi label negatif dan selalu dianggap berperilaku negatif. Contoh: “Kamu itu ya, kerjanya main terus. Mau jadi apa kamu kalau bodoh macam itu?”.

Sebagian orang tua beranggapan itu adalah perbedaan dalam cara mendidik. Tapi sudahkah bayangkan jika anak yang dimarahi itu adalah kita. Sudahkah bertanya kenapa belum belajar? Apakah ada kendala pada pembelajaran? Anak tidak akan menjadi pintar hanya karena dituntut untuk belajar. Lain halnya jika anak dibimbing dan diajari, maka ia pun akan mengerti.

2. Melecehkan anak secara fisik

Sebagian besar orang bahkan tidak menyadari apa itu pelecehan. Tak sedikit orang tua yang menjadikan pelecehan fisik sebagai bahan candaan. Cohtoh: Dek, “kamu kok gendut sih. Hitam lagi. Nggak mirip ayah sama mamah. Kamu anak siapa, ayo?”

Sekilas semua itu seperti candaan. Jika berulang-ulang dilakukan, candaan seperti itu justru bisa menjadi masalah. Pelecehan atau mengkritik fisik anak dapat menurunkan kepercayaan diri.

3. Membuat anak seperti beban

Kondisi orang tua yang tidak selalu baik sering membuatnya tertekan. Tak jarang anak menjadi pelampiasan saat orang tua stres. Orang tua merasa sudah melakukan banyak hal, anak dianggap tidak melakukan apa-apa. Tak jarang dianggap beban atau hanya merepotkan. Contoh: “Kamu ya, sudah  mama urus, mama sayang-sayang, tapi selalu bikin mama kesal.”

Orang tua memang yang paling berjasa untuk kehidupan anak. Meski begitu, bukan berarti anak tidak pernah melakukan apa-apa. Kata-kata yang menyakitkan akan melukai hati anak. Apa sebagai orang tua kita bahagia melihatnya terluka?

4. Selalu membanding-bandingkan anak

Kondisi dan pencapaian anak memang tidak selalu sesuai ekspektasi. Hal itu bukan berarti membuat anak jadi lebih buruk dari orang lain. Contoh: “Kamu tuh ya, udah mamah ikutkan les masa dapat nilai segini? Lihat si Ani, juara kelas meski nggak ikut les.”

Mungkin saja orang tua bermaksud untuk memotivasi dengan membandingkan.Tetapi sudahkah berfikir bagaimana rasanya dibanding-bandingkan dengan orang lain? Untuk memperbaiki butuh motivasi dan dorongan yang kuat. Akahkah anak termotivasi jika terus dibanding-bandingkan?

5. Tidak menghargai pencapaian anak

Tingkat pencapaian anak memang berbeda-beda. Pada dasarnya, setiap anak ingin terlihat baik di depan orang tuanya. Namun kurangnya apresiasi akan menghancukan kepercayaan diri anak. Contoh: “Ma, kemarin aku dapat nilai 70, sekarang sudah 90, yeaay!!” Yang bagus itu 100.” Jawab ibunya.

Bisa bayangkan perasaan anak saat itu? Sama seperti orang dewasa, anak juga perlu dihargai dan diapresiasi, dengan begitu kepercayaan diri anak bisa meningkat. Saat anak percaya diri, ia akan melakukan yang terbaik. Namun bisakah anak memberi hasil yang terbaik tanpa motivasi dan rasa percaya diri?

6. Tidak mengizinkan anak mengambil keputusan sendiri

Orang tua yang dianggap lebih tahu dan berhak dalam segala hal. Pandangan seperti ini membuat kontrol perilaku anak dibawah naungan orang tua. Anak tidak diberikan kebebasan berpendapat atau memilih sesuatu untuk dirinya. Contoh: “Kamu nggak usah pilih jurusan seni. Lebih baik kuliah di kedokteran. Masa depanmu lebih terjamin.”

Secara tidak langsung anak diminta untuk selalu patuh. Yang lebih miris, jika ada penolakan dianggap anak tidak berbakti. Saat anak menjalani hal yang bukan saran dari orang tua maka tidak akan di-support.

Tanpa disadari, toxic parents memang sering terjadi. Sebagai orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. “Terbaik” di sini yang perlu ditekankan. Terbaik bagi dan untuk siapa? Cara orang tua menginginkan anaknya melakukan yang terbaik seperti apa?

Harapan baik adalah hal yang wajar. Yang perlu diperhatikan adalah cara, sikap dan perilaku untuk mewujudkan harapan. Setiap tingkah, perilaku dan ucapan orang tua adalah contoh untuk anaknya. Meskipun bercanda, sepatutnya tetap menggunakan kata-kata yang pantas dan positif.

Dampak Bagi Anak Yang Mengalami Toxic Parent Di Masa Kecil 

Dengan bersikap kasar dan menyakiti perasaan, mungkin bisa membentuk anak sesuai keinginan orang tua. Hanya saja, kata-kata dan perilaku kasar yang didapat akan teringat sepanjang masa. Toxic yang didapatkan anak saat bertumbuh dari kecil hingga dewasa akan menimbulkan efek negatif.

Anak akan menjadi pribadi yang tertutup dan tidak bisa mengungkapkan perasaan. Karena ia terbiasa memendam perasaannya. Anak juga tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri dan pendiam. Sulit bersosialisasi dan tidak dapat mengambil keputusan. Karena sebelumnya anak hanya diajarkan untuk menuruti perintah orang tua. Sedangkan saat dewasa nanti anak akan punya kehidupan sendiri.

Pengalaman anak didik oleh toxic parents akan melekat dalam ingatannya. Bisa bayangkan nanti saat ia memiliki anak? Bagaimana ia akan bersikap terhadap anak-anaknya? Untuk memutus rantai toxic parents perlu edukasi terhadap setiap individu. Perlu kesadaran bahwa pengalaman masa kecil yang tidak baik tidak perlu diwariskan.

Cara Menghindari Toxic Parent Saat Menjadi Orang Tua

Tidak ada sekolah tertentu untuk menjadi orang tua. Kesalahan adalah hal yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Hal itu adalah manusiawi. Yang perlu dilakukan adalah cepat menyadari kesalahan dan segera merubahnya. Yang menjadi petaka adalah saat berlaku salah namun tetap merasa benar. Toxic parents bisa dihindari dengan:

Belajar ilmu parenting

Di era digital seperti sekarang, banyak informasi bertebaran. Kesadaran mempelajari ilmu parenting sangat penting. Dilansir dari Yayasan Pusat Kemandirian Anak, parenting adalah proses interaksi antara orang tua dan anak dalam mendukung perkembangan fisik, emosi, intelektual dan spiritual sejak anak  dalam kandungan.

Untuk mendapatkan pengetahuan tentang parenting, bisa mengunjungi situs-situs parenting melalui website. Seperti: TheAsianParent Indonesia, The Urban Mama, Bidanku.com, Nakita Grid.id dan yang lainnya.

5 Tips Menjaga Hubungan Baik Dengan Anak Sampai Dewasa

Ilmu parenting juga bisa didapatkan dengan mengikuti seminar atau channel Youtube Ayah Edy dan Ibu Elly Risman. Banyak pembahasan mengenai parenting, tinggal ketik “parenting” di kolom seacrh melalui Google atau YouTube.

Mendidik dan berbicara dari hati ke hati

Saat ada orang yang bersikap baik, umumnya kita juga akan bersikap baik. Saat ada orang yang bersikap baik, bagaimana perasaan kita? Senang, tentu saja. Saat pergi ke suatu tempat, lalu menemukan orang yang berbicara kasar padamu. Bagaimana perasaanmu? Kesal? Bisa jadi. Senang? Kayaknya nggak mungkin deh.

Mendapat perlakuan tidak baik dari orang yang pertama kali kita temui, tidak enak rasanya. Pedahal hari esok belum tentu bertemu lagi. Bagaimana jika kita mendapatkan perilaku yang tidak baik, tetapi harus bertemu setiap hari dengan orang itu? Bagaimana perasaanmu? Tak enak hati, bukan?

Dalam suatu hubungan, gunakanlah perasaan untuk tolak ukurnya. Hubungan dengan pasangan, begitu pun hubungan dengan anak. Suatu hubungan terbangun lebih dari satu orang. Oleh karena itu, yang dipentingkan bukan hanya perasaan sepihak.

Sama dengan halnya mendidik anak. Perlakukan anak seperti kita ingin diperlakukan. Hubungan yang baik adalah dimana ada kenyamanan  di dalamnya. Anak yang dididik dengan hati akan lebih mudah mengerti satu sama lain.

Minta dan hargai pendapat anak. Sering-seringlah ajak anak berkomunikasi. Bangunlah kedekatan dari hati ke hati. Cinta dan kasih sayang yang tulus adalah yang bahagia dan membahagiakan. Cinta yang banyak menuntut itu keegoisan. Jadilah orang tua yang selalu dirindu dan dijadikan teladan oleh anak.:) Indah bukan?